Minggu, 10 Februari 2013

Dia yang mendengar ceritaku

Merentas Bahagia

ku coba tulis ini dengan hayal akan ceritamu
cerita yang menurutku luar biasa
cerita yang menurutku penuh makna
dan aku saja mungkin blm bisa mjalaninya....
kisah mu mengusikku...mengusik rasa yang semua orang berharap merasakannya
rasa bahagia..... ya bahagia....
kau seberangi samudra yang tak terfikirkan sebelumnya
bahkan tanah yang akan kau jejakipun kau tak pernah tau
namun kau terus ikuti alur langkah itu
langkah kenegeri bertuan yang tak teranggap
hingga tibamu dengan takjub bahwa ada negeri yang tak terlukis
negeri yang punya nama tak dikenal....penuh keindahan
dan itu ciptaan Sang Maha Karya....
Tak ada modernisasi................................................
semua seperti masa lampau.....................................
namun mereka disana terlihat bahagia dengan apa adanya....
bagaimana dengan mu............ terjerembab dalam situasi yang membuatmu merasa tak mungkin hidup kan????

itulah bahagia..... tak semua bisa bahagia dalam kondisi dan situasi yang sama
bahagiamu bukan bahagianya...bukan juga bahagia yang lain....
lalu apa bahagia dalam konteks hidup manusia.....

semua mungkin punya jawab yang berbeda dan acap kali tak tersurat
dan bahagia buatku.......adalah ketika kita bisa menempatkan hidup sesuai dengan porosnya
berjalan pada jalannya, duduk pada tempat sepantasnya...dan berdiri pada kaki yang sewajarnya...
dan bahagia bukanlah komoditi yang bisa divalidasi dengan materi...

Oleh: Yusri Sulaiman

Di Aussie, memasak Bukan Hanya Tugas Perempuan


            Saat ini saya berada di Australia bersama rekan-rekan lainya mengikuti program homestay selama tiga minggu, perjalanan menuju kemari tidaklah mudah, namun sangat berarti. Mulai dari proses seleksi yang sangat selektif, sponsorship dan harus siap hidup di bawah satu atap dimana di dalamnya terdapat banyak perbedaan, dari sisi budaya, kepercayaan dan lain-lain. Tapi punya satu visi yang sama, yaitu “Mari Berbagi”.

            Hari pertama saya dan dua rekan lainnya (Annis dan Munawar) tiba di rumah Richard, kami diajak belanja di salah satu pasar terdekat dengan tempat tinggal kami selama program homestay berlangsung dan ditemani cucunya yang cantik, pintar dan ramah, ”Virginia” sapaannya. Sampai di pasar, Richard meminta saya dan rekan lainnya untuk mengambil bahan makanan apa saja yang nantinya menjadi bekal selama di rumahnya. Yang ada di pikiran saya adalah, beras pasti tidak ada dirumah Richard, tanpa konfirmasi terlebih dahulu kepada kedua teman lainnya, saya langsung mengambil beras.

            Menjelang malam, istrinya Richard, “Anne” mempersiapkan makan malam buat kita semua. Yang menariknya adalah, tidak hanya Anne yang bekerja di dapur, Richard juga ikut membantu sampai makan malam siap dihidangkan. Mereka memasak nasi untuk kami dan keluarganya sendiri, walau saya tahu bahwa nasi bukanlah makanan pokok mereka, tapi kelihatannya mereka sangat menikmatinya. Setelah makan malam selesai, Anne dan Richard sama-sama membersihkan piring kotor dan membereskan meja makan, semuanya di lakukan tanpa ada perbedaan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.
           
            Yang selama ini saya anggap bahwa dapur adalah tanggung jawab perempuan, rupanya semua itu salah. Saya mengatakan demikian karena, coba kita pikirkan apa yang terjadi apabila perempuan terlalu sibuk dengan anak-anaknya yang masih kecil dan pekerjaannya di luar rumah. Saya yakin bahwa perempuan tak akan sempat mengurusi pekerjaan dapur sepenuhnya tanpa ada bantuan dari suami.

            Secara logika, melakukan sesuatu secara bersama-sama akan timbul rasa cinta yang lebih besar diantara dua insan, karena hampir setiap saat bersama. Dan itu jelas terlihat dari Anne dan Richard, sudah puluhan tahun mereka bersama, namun tetap kelihatan sebagai pengantin baru.  Penulis berharap bahwa, jangan lupa atas hal yang menjadi prioritas dan tanggung jawab. Semuanya akan terasa ringan apabila di kerjakan secara bersama-sama dan memiliki rasa tanggung jawab yang sama. 

Sydney, November 4th 2012

“Human Pigeon”


            Pigeons are birds bird species can be Umbar or off and will return to its own cage. Pigeons also include the type of bird that is easy to maintain. And to find the pigeon was not a difficult thing, because pigeons are sold on bird markets. It’s just a definition of pigeon or short explanation.
            Actually, the writer would like to write about “Human Pigeon” which is just a term that’s used to be used by Australian, some Australian translate that pigeon is a bird which steals a meal from human and It runs away, then human is angry. But, most of them don’t know what the term mean.
            This term is used to be used to a people who suddenly cut a conversation in a group. On the other hand, unethical human.   

                                                                                                SAFRIL
                                                                                                Sydney, November 20th 2012

Where Small Makes A Difference


            Menikmati secangkir kopi bersama teman-teman di warkop “Milk and Honey” Canberra merupakan suatu momen yang tidak bisa di lupakan. Punya teman baru adalah salah satu misi saya selama berada di Australia, “Nenen” warga negara Indoensia dan merupakan salah satu alumnus program AIYEP (Australia Indonesia Youth Exchange Program) yang sudah menetap dan berkeluarga disana. Segarnya udara membuat saya semakin nyaman dan rasanya ingin bisa melanjutkan studi di Negeri Kangguru ini. Tidak hanya itu, sharing antara satu sama lain adalah hal yang tidak bisa di lewatkan sambil menikmati secangkir kopi yang di hidangkan oleh waitress yang sangat manarik perhatian dari gaya rambutnya.
            Tiba-tiba “Nenen” teman baru saya bertanya seputar program yang sedang kami jalani dan apa yang sudah saya dapatkan selama di Australia, kurang lebih begini pertanyaannya “Apa sih yang membuat mereka (Australian) lebih maju dari kita (Indonesian)?”. Beliau meminta saja menjawab sesuai dengan apa yang saya lihat dan saya pelajari selama disini.
            Menurut saya, ini adalah pertanyaan yang sangat menarik dan sangat berguna bagi saya pribadi, juga semua warga Indonesia yang pernah berkunjung ke Negeri kangguru. Dengan jelas saya menjawab bahwa “where small makes a difference”. Iya, ini merupakan timeline-nya salah satu NGO local “Forum Bangun Aceh”, tapi maksud saya disni adalah, banyak hal-hal kecil yang di aplikasikan di Negera Australia dan semua itu memberikan dampak positif bagi warganya dan para turis, diantaranya:  
§  Antrian dengan sangat tertip
§  Di bus “Memberikan kesempatan kepada yang tua untuk duduk di depan dan yang muda di belakang”
§  Menawarkan bantuan walau tidak di minta
§  Tidak suka campur tangan
§  Patuh kepada lalu lintas

            Ini hanya beberapa contoh yang saya lihat, masih banyak lagi yang bisa kita pelajari dan kemudian kita aplikasikan dalam kehidupan kita. Semua ini tidak mustahil di bawa pulang ke Indonesia sebagai pengganti oleh-oleh dan tidak memberatkan bagasi.

                                                                                                SAFRIL
                                                                                                Castle Hill, November 15th 2012

Aceh di Sydney


SAFRIL
Sydney, November 15th 2012


Punchbowl adalah salah pinggiran kota Sydney , disana terdapat banyak pemuda-pemudi Aceh yang sedang menuntut ilmu dan mengadu nasib. Suatu ketika kami berkunjung kesana, tepatnya di rumah Buk Lili, beliau adalah salah satu masyarakat Aceh yang sudah 11 tahun menetap disana bersama 5 jagoannya, pribadi yang ramah dan rendah hati. Walau sebentar, tapi senang rasanya bisa berkumpul dengan sodara dari Aceh. Sangat terasa khas Aceh-nya. Tidak hanya ibu lili dan anak-anaknya saja yang menyambut kami selama disana, keluarga besar beliau juga hadir dan masih banyak lagi teman-teman beliau, dan hampir semuanya adalah asal aceh.
            Begitu sampai dirumah beliau, kami di hidangkan makanan khas Indonesia, mulai dari sate padang, sop, nasi putih dan es buah. Setelah kami di jamu makan malam, kami duduk dan menceritakan secara singkat program yang sedang kami ikuti. Setelah kami jelaskan secara singkat, padan dan jelas, luar biasa antusiasnya beliau ingin menjadi bahagian dari program kami. Bahkan beliau bersedia menjadi salah satu hostfam di program YLC 2013. Ini adalah sebuah kesempatan besar bagi saya, teman-teman YLC untuk menjalin hubungan baik, semakin banyak sponsor yang didapatkan, semakin mudah program YLC 2013 dilaksanakan. Semua itu adalah untuk generasi dimasa depan.
            Intinya adalah, mencari teman sangatlah mudah, menjaga hubungan baik dengan teman tidak semudah mencari teman. Membangun hubungan yang baik adalah salah satu jalan kita menjadi orang sukses di masa depan, dan hubungan sesama manusia dengan manusia lainnya adalah harta karun yang bisa diwarisi kegenerasi berikutnya.
                                                                        

Sabtu, 05 Mei 2012

Segala Kekhasan Aceh, Marwah yang tak mudah dihancurkan

By Antony Reid


“…Akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan,Segala kekhasan Aceh adalah marwah (harkat-martabat) yang tak mudah dirampas atau bahkan dihancurkan. Selain itu, sejak tahun 1990-an, mereka juga menjadi korban bersalah atau tidak bersalah akibat perang di wilayah mereka, atas apa dan bagaimana Aceh harus tetap menjadi bagian dari Indonesia…??”

Kutipan pernyataan Anthony Reid di atas pada pengantar Buku The Contest for North Sumatera Acheh, The Netherlands and Britain 1858-1898, edisi Bahasa Indonesia yang diterbitkan penerbit Yayasan Obor Indonesia, dengan sangat tepat menggambarkan kenyataan hidup orang-orang Aceh sampai dengan hari ini.

Reid sebagai peneliti sejarah dengan baik mencatat satu periode konflik di Aceh, kemudian bangsa Indonesia menjadi saksi hidup periode konflik sesudahnya yang mengandung kekerasan yang tak kalah memilukan. Kita sebagai saksi hidup yang melihat, mendengar, berempati, membela, atau mungkin memberikan stigma atas mereka, lalu mendiamkan tragedi kekerasan berpesta pora di Aceh.

Apa yang ingin ditunjukkan oleh pernyataan Reid di atas adalah suatu kontuitas dari sebuah ritus bernama konflik. Sayangnya, sebagaimana koloni Belanda dan Inggris melawan bangsa Aceh sebagai penghambat kepentingan projek kolonisasi, demikian pula ‘negara’ kita memperlakukan rakyat Aceh sebagai ‘duri dalam daging’, masalah dalam integrasi NKRI dan integritas nasional, tanpa kejujuran memahami dan menyelesaikan akar persoalan dan kemauan memilah antara problem masyarakat sipil Aceh dan GAM..

Dengan gamblang Reid ini menunjukkan, bahwa akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan. Sebagai ‘pemulung catatan sejarah’ Reid berhasil menyatakan bahwa segala kekhasan Aceh adalah marwah (martabat) yang tak mudah dirampas atau dihancurkan. Marwah itu berupa sumber daya, tradisi, kebudayaan, kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta suku-suku mereka. semua telah membuktikan kekuatan marwah itu, baik kolonial Portugis, Inggris dan Belanda, serta terakhir Indonesia (baca; elit politik Jakarta). Seperti macan yang tertidur, marwah yang terganggu akan meraung dan melawan dengan segala cara.

Tulisan ini akan membedah tulisan Reid dengan satu maksud; memberikan suatu analisa umum perihal konflik pada masa lalu dan menjelaskan mengapa konflik tersebut berlanjut paska kemerdekaan dan penyatuan Aceh dalam NKRI. Juga bagaimana konflik pada suatu masa yang dituangkan Reid dalam bukunya terekam kuat pada setiap keturunan orang-orang Aceh, dan dengan pemahaman yang kurang lebih sama dan memberikan jawaban yang sama, berupa ‘pemberontakan’ atas nama marwah. Sebagai pelengkap, sedikit akan diulas problem kontemporer yang menjadi penyebab konflik Aceh bertahan sampai dengan perundingan damai paska tsunami yang berujung pada MoU 15 Agustus 2005 lalu.

Upaya Rakyat Aceh Bertahan dari Kolonialisasi

Sebagaimana diketahui, Aceh pada abad ke 11 merupakan pelabuhan transit bagi pedagang India dan Arab yang berniaga ke China dan pusat perdagangan rempah-rempah di Sumatera. Pada abad ke 13, kerajaan Samudra (Pasai) menjadi kerajaan terkemuka yang mengelola pelabuhan dagang di ujung sumatera tersebut, bersaing dengan kerajaan Malaka.

Pasai muncul sebagai kekuatan baru pusat perdagangan dan pengetahuan Islam setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Daratan Aceh yang terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil berhasil di satukan (dikuasai) penguasa kerajaan Aceh, Sultan Ali Mughayat Shah di bawah satu kepentingan, yaitu membangun kekuatan melawan Portugis.

Pada bulan Mei 1521, Ali berhasil mengalahkan armada Portugis di bawah pimpinan Jorge de Brito di laut lepas; awal dari pertempuran yang terus menerus berlangsung selama kekuasaan Portugis di Malaka, 120 tahun. Ali juga berhasil menjadikan Bandar Aceh Dar-es-Salaam sebagai jalur baru perdagangan muslim melalui selat Sunda, bukan lagi selat Malaka. Dengan ambisi mengalahkan Portugis dan memonopoli hasil ekspor Sumatera dan Malaya, kerajaan Aceh mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh dengan imbalan bantuan militer Turki untuk melawan Portugis.

Wilayah ini mencapai puncak kejayaannya di tangan Sultan Iskandar Muda(1607-36). Kerajaan mampu mengendalikan pelabuhan-pelabuhan strategis di pantai Barat dan Timur, bahkan sampai ke wilayah Asahan di Selatan. Hampir seluruh awal abad ke 17 merupakan tahun-tahun permusuhan dan peperangan antara Aceh dan Portugis. Akibat permusuhan ini, kapal-kapal dagang dari wilayah-wilayah yang dikuasai Portugis seperti Goa dan Malaka sama sekali tidak bisa menyinggahi Aceh.

Pasca wafatnya Iskandar Muda, kekuatan kerajaan Aceh meredup. Jabatan politik (Imam, Uleebalang, mantroe, panglima Sagoe) yang awalnya dipegang untuk kepentingan menjalankan kendali pemerintahan dan perang, menjadi jabatan turun-temurun dan mendapat kedudukan resmi dan terkemuka. Tidak ada lagi Sultan yang cukup kuat dan dipatuhi semua pihak, sehingga praktis Sultan tidak mampu mengambil tindakan apapun tanpa persetujuan para Uleebalangterkemuka.

Pada masa-masa awal kerajaan Aceh, hampir seluruh ekspedisi dagang Eropa (Inggris, Prancis, Belanda, Portugis dan Spanyol) pernah memasuki Aceh dan diterima dengan baik. Ekspedisi ini kian langkah seiring dengan meningkatnya ketegangan akibat ekspansi dan persaingan dagang di perairan ujung Sumatera tersebut. Hanya dengan pedagang Prancis dan Inggris kerajaan Aceh dapat berhubungan dagang cukup baik, selebihnya gagal dan berakhir dengan permusuhan dan peperangan.

Restrukturisasi kesultanan di tangan dinasti Arab pada 1699 dan dinasti Bugis pada 1727 gagal memulihkan kemakmuran kesultanan tersebut. Pada tahun-tahun ini Banda Aceh hanya menerima penghasilan dari perdagangan dan persinggahan di pelabuhan dengan nilai yang tak seberapa. Perdagangan secara umum dikuasai pedagang Inggris yang bermarkas di India sehingga mendorong keinginan mereka untuk mendirikan pusat pengunpulan hasil bumi. Serangkaian pendekatan pada tahun 1762 ditolak mentah-mentah sehingga akhirnya pada tahun 1786 Inggris memutuskan mencari tempat lain, Penang. Tak lama sesudah itu, budidaya lada yang diperkenalkan di Aceh berhasil gemilang. Pada tahun 1820-an, Aceh menjadi penghasil separuh dari total produksi dunia, dengan pembeli pedagang-pedangan Amerika hingga tahun 1850-an.

Pada periode ini, Aceh mau tidak mau terseret dalam perang kepentingan dagang Inggris, Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Dukungan Inggris kepada penguasa Aceh yang menghadapi pemberontakan dari kalangan keluarga kerajaan tak lain dimaksudkan untuk mempertahankan persekutuan menghadapi Belanda. Bagi penguasa Aceh dukungan ini penting untuk menghadapi oposisi dari kalangan keluarga kerajaan, dimana perusahaan India Timur memasok senjata dan uang dan menggunakan pengaruh mereka untuk melemahkan dan mengusir kalangan oposisi.
Karenanya kesultanan memberikan keistimewaan kepada Inggris berupa janji untuk tidak campur tangan dalam urusan perdagangan Inggris di Uleele danLhokseumawe, menetapkan persekutuan pertahanan Inggris-Aceh, tidak akan membuat perjanjian dengan bangsa asing tanpa persetujuan Inggris dan memberikan hak kepada perusahaan India Timur untuk untuk berlabuh di semua pelabuhan Aceh dan menempatkan utusan di istana Sultan. Perjanjian tersebut tidak berjalan seluruhnya, dan situasi kerajaan tidak juga membaik.

Paska perjanjian Inggris-Belanda, Inggris dan Belanda sama-sama memandangAceh sebagai wilayah yang ‘merdeka’ tidak boleh dikuasai salah satu dari mereka. Karenanya dengan segera Belanda dan Inggris menyiapkan sikap bersahabat dan pengakuan untuk Aceh dan merencanakan perjanjian yang baru. Sementara Inggris tidak lagi memandang strategis mempertahankan persekutuan denganAceh dengan adanya perjanjian tersebut. Inggris yang berkuasa di Penang mulai memutuskan untuk tidak meneruskan rencana pembuatan perjanjian dengan alasan tidak akan efektif dan merugikan, karena itu berarti mengakui kekuasaanSultan Aceh. Belanda yang mengharapkan ada pemasukan baru di wilayahnya tetap berupaya menguasai Sumatera secara keseluruhan.

Belanda sendiri pernah datang ke Aceh pada tahun 1599, Sayangnya dua bersaudara Cornelis dan Frederik de Houtman datang ketika hubungan dagang kerajaan dengan Portugis sedang baik dan Belanda sendiri merupakan musuh dengan Portugis. Cornelis mati terbunuh, sedangkan Frederik ditawan. Pada November 1600 Paulus van Caerden berhasil membuat perjanjian dagang denganAceh, namun gagal membawa lada karena dibongkar paksa di pelabuhan Acehatas hasutan Portugis. Hubungan dengan Portugis kemudian putus dan hubungan dengan Belanda membaik. Tahun 1601 pedagang Belanda bernama Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal dari maskapai Zeeuw berlabuh diBanda Aceh.

Tanggal 8 April 1873 tentara Belanda mendarat di pantai Kuta Pante Ceureumen dan memulai peperangan dengan dipimpin oleh Jendral Mayor Kohler. Peperangan ini gagal dimenangkan Belanda. Akhir November 1873 ekspedisi ke II Belanda Tiba di Aceh dan mulai meyerang serta merebut Masjid Raya tanggal 25 Desember 1873 dan istana tanggal 24 Januari 1874. Semenjak Belanda merebut Bandar Aceh Darussalam pemerintahan Aceh berpindah dari satu tempat ke tempat dimana pasukan induk bermarkas. Sampai tahun 1896 peperangan masih seimbang karena pejuang Aceh sanggup merebut beberapa tempat yang berada di tangan Belanda. Tanggal 1 Juni 1898 Kolonel Van Heutsz melancarkan serangan besar-besaran ke Pidie dan daerah lainya untuk memburu Sultan dan Panglima Polem.

Setelah penangkapan-penangkapan terhadap pejuang Aceh dan keluarga sultan, pada tanggal 20 Januari 1903 Sultan ‘Alauddin Muhammad Daud Syah menyatakan –di bawah tekanan—bahwa Kerajaan Aceh menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan dia akan setia kepada Ratu Belanda dan wakilnya Gubernur Jenderal. Meskipun demikian Sultan tetap mengadakan hubungan rahasia dengan pemimpin-pemimpin perang Aceh, sehingga oleh Belanda dibuang ke Ambon.

Tentara Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 12-13 Maret 1942 tanpa menghadapi perlawanan dari Belanda karena beberapa hari sebelum pendaratan Belanda sudah bergerak ke pedalam Aceh dan Sumatera Timur akibat perlawanan rakyat. Kekalahan Belanda di Palembang tanggal 14 Februari dan 1 Maret atas Jepang telah meyakinkan rakyat Aceh bahwa Belanda telah kehilangan kekuatan. Rakyat Aceh menerima Jepang sebagai pembebas dan bersimpatik karena mereka mengizinkan pengibaran bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya. Namun lama kelamaan rakyat Aceh merasa kecewa dan marah karena Jepang memerintahkan mereka “menyembah matahari” setiap pagi –dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Pemberontakan terhadap Jepang terjadi di Lhokseumawe dan di Pandrah pada bulan Mei 1945.

Upaya Aceh Mempertahankan Pengakuan Identitas Diri

Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) lahir pada tanggal 5 Mei 1939 Peusangan, Bireun, dengan pimpinan Tengku Moehammad Daud Beureuh. PUSA merupakan kekuatan politik baru paska jatuhnya kekuasaan sultan ke tangan Hindia Belanda sebagai kelanjutan perlawanan Aceh di bawah pimpinan ulama. Organisasi yang didirikan untuk memperbaharui dan memajukan pendidikan Islam ini berubah menjadi organisasi yang berorientasi pada politik praktis, karena menjadi wadah perjuangan ulama Aceh (Tengku) melawan elit tradisional atau ulebalang (Teuku) yang dipandang berpihak pada Belanda.

Pada mulanya PUSA tidak terlihat sebagai kubu anti-Belanda dan anti-ulebalang, tetapi terlihat sebagai organisasi Islam modern yang di dalamnya juga terdapat beberapa ulebalang. Menjelang akhir kekuasaan Belanda PUSA tumbuh menjadi organisasi nasionalis murni yang anti-Belanda dan ulebalang yang digunakan Belanda menjadi alat pemerintahan di Aceh. Kalangan ulebalang dianggap tidak bisa diharapkan karena begitu berakar dalam sistem pemerintahan kolonial. Pertikaian ini berlanjut hingga masa kemerdekaan.

Beberapa bulan setelah Jepang menyerah, terjadi “perang saudara” di Aceh. Ulebalang diserang oleh ulama dan pengikutnya di seluruh Aceh. Konflik ini tidak bisa disederhanakan sebagai perang atau pertentangan antara adat dan agama atau antara kaki tangan Belanda dan Pembela kemerdekaan, namun juga dimasuki motif ekonomi dan politik. Melalui revolusi sosial kaum ulama ini peran sosial, politik dan ekonomi kaum ulebalang dilenyapkan. Dalam dua bulan (Desember 1945-Januari 1946) kaum ulebalang dimusnahkan, sedangkan yang masih tersisa diharuskan melepaskan hak-hak turun-temurun, disita hartanya dan mereka yang memangku jabatan penting dalam pemerintahan sipil dan militer Indonesia dipaksa untuk mengundurkan diri. Jabatan-jabatan ini kemudian diisi oleh kaum ulama PUSA.

Sebagai reaksi terhadap pemerintah pusat yang acuh tak acuh, pada tanggal 21 September 1953 Tengku Daud Beureuh akhirnya memproklamasikan Aceh sebagai Negara Islam (Darul Islam) dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Imam SM Kartosuwiryo. 38 hari setelah “pemberontakan” tersebut Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan resmi pemerintah dengan menyatakan bahwa pemberontakan tersebut merupakan pemberontakan segelintir rakyat Aceh. Padahal suasana di seluruh wilayah Aceh terasa sangat revolusioner. Sewaktu mengepung dan menyerang pusat-pusat militer di kota-kota, “tentara” Darul Islam (DI) memandang TNI sebagai tuntra kaphee (tentara kafir) dan meneriakkan “Allahuakbar”. Semangat tersebut bertambah marak dengan berkibarnya bendera DI yang bergambar bintang dan bulan sabit putih di atas dasar merah.

Tanggal 19 September 1953 serangan terhadap pasukan pemerintah di Aceh Timur dan Utara dimulai. Pos polisi di Peureulak diserang ribuan rakyat. Semua komunikasi dengan Aceh putus tanggal 21 September. Tanggal 23-24 September Angkatan Udara membom pasukan DI di Bireuen. Takengon jatuh ke tangan DI setelah pasukan pemerintah mundur ke Bireun. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh dengan menyebarkan beribu-ribu edaran yang menyatakan bahwa tindakan DI adalah ilegal dan memperalat agama.

Setelah pertumpahan darah dan perundingan yang alot dan adanya persetujuan otonomi untuk Aceh situasi agak mereda. Sebagian prajurit Tentara Islam setelah melalui screening wajib akan dijadikan wajibmiliter darurat. Tanggal 1 Oktober 1959 pemerintah membentuk Divisi Tengku Cik Ditiro sebagai bagian khusus dari divisi tentara di Aceh (Kodam Iskandar Muda). Pegawai-pegawai DI mendapat perlakuan sama. Ini berarti bahwa Pemerintah daerah Aceh akan mengangkat bekas pemberontak yang menyatakan setia dengan Republik Indonesia sebagai pejabat sipil.

Upaya Aceh Mempertahankan Sumber Daya Ekonomi-Politik

Pada tahun 1965, tak berapa lama setelah Aceh kembali menyatakan kesediaan menjadi bagian dari NKRI dan pemberian status Daerah Istimewa, terjadi perubahan politik yang luar biasa di Jakarta. Pemerintahan Orde Lama Soekarno dilengserkan melalui ‘kudeta’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Soeharto. ‘Kudeta’ ini berlangsung mulus dengan memanfaatkan momentum krisis ekonomi-politik, ketidakpercayaan terhadap konsep politik presiden (terutama dari kalangan militer) dan kekhawatiran menguatnya Partai Komunis Indonesia yang menjadi 5 besar pada Pemilu 1955.
Sebagai salah satu wilayah yang kecewa dengan sikap politik Soekarno, menolak kekuatan PKI, dan menyimpan harapan baru otonomi Aceh di bawah status Daerah Istimewa, kudeta ini juga mendapat ‘restu’ masyarakat politik Aceh.

Soeharto sebagai simbol anti-komunis dan terkesan ‘bersahabat dengan Islam’ diterima secara umum di Aceh. Bahkan Ulama setempat pun juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pembunuhan orang-orang komunis. Beberapa laporan menyebutkan angka pembantaian yang cukup bombastis sampai dengan puluhan ribu oleh militer dan rakyat terhadap pengikut PKI .

Harapan tersebut ternyata terlalu berlebihan. Tak lama setelah pemerintahan baru berkuasa, tidak hanya harapan akan diakuinya nilai-nilai Islam sebagai bagian dari kehidupan sosial politik Aceh yang hilang, tapi juga ruang aspirasi politik lokal dihapuskan melalui kebijakan pemerintahan yang sentralistik. Mereka hanya memberikan ruang kecil bagi Aceh untuk menerima hak status Daerah Istimewa yang dijanjikan rezim terdahulu, yaitu ruang apresiasi budaya yang terbatas, sementara janji otonomi ekonomi-politik dilupakan. Pemerintah Pusat dengan segera menghapuskan sistem pemerintahan lokal dan menyeragamkan sistem pemerintahan di Aceh dengan provinsi lainnya dan menempatkan ‘orang-orang pusat’ untuk melakukan kontrol ekonomi-politik. Semua dilakukan sebagai upaya membangun stabilitas ekonomi-politik paska 1965.

Pada masa kerajaan Aceh, wilayah ini dikenal sebagai wilayah penghasil hasil pertanian terbaik. Sampai dengan tahun 1969 Aceh tetap menjadi daerah “Lumbung Padi Indonesia”. Kondisi ini berubah total paska ditemukannya sumber gas alam oleh Mobil Oil Indonesia pada 1971 di Kabupaten Aceh Utara. Pada tahun 1977, penambangan mulai dilakukan, dan wilayah ini dinyatakan sebagai Zona Industri Lhoseumawe. Pada tahun 1980-an, pertambangan ini telah menyumbangkan 30 % dari total produksi minyak dan gas Indonesia, terutama gas untuk kebutuhan ekspor.

Pada periode 1990-an, jumlah tersebut meningkat menjadi 40 % yang hampir seluruhnya (90 %) diekspor ke Jepang dan Taiwan (dengan kontrak kerjasama suplay 20 tahun).Pada tahun 1989, perusahaan Kertas Kraft Aceh juga mulai berproduksi, perlahan-lahan menghabisi hutan-hutan pinus pegunungan Aceh. Malangnya, di tengah berlimpahnya sumber daya alam, propinsi Aceh justru menjadi propinsi ke 26 termiskin penduduknya di Indonesia.

Gemerlap ekonomi ini tidak dengan serta merta membawa perubahan kehidupan ekonomi Aceh. Meskipun telah ditemukan gas alam, masyarakat tetap mengandalkan sumber pertanian dan laut sebagai sumber kehidupan yang tidak seberapa, sangat kontras dengan kehidupan di kompleks zona industri. Sampai dengan pertengahan 1970-an tak ada satu pun Sekolah Teknik Menengah di kabupaten ini, dimana melalui sekolah ini masyarakat setempat berharap bisa melanjutkan pendidikan dan bekerja di pertambangan tersebut. Hampir seluruh posisi strategis perusahaan diisi pekerja-pekerja dari luar Aceh. Yang juga terjadi adalah hilangnya tanah-tanah pertanian penduduk akibat digunakan sebagai kawasan industri dan dan pemindahan penduduk ke desa-desa baru (yang dalam beberapa kasus itu hanya berupa janji-janji).

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Acheh/Sumatera National Liberation Front (ASNLF) muncul sebagai reaksi paling ekstrim terhadap ketidakadilan ekonomi-politik paska pemberian status Daerah Istimewa di Aceh. Sebagai reaksi atas penghianatan Jakarta dan rasa frustasi terhadap pilihan mayoritas masyarakat untuk menggunakan jalur loby politik formal yang selalu gagal, GAM mengambil posisi mengorganisir gerakan bersenjata. Tengku Hasan M. Di Tiro, mendeklarasikan gerakan ini pada Oktober 1976. Pada tahun 1950-an, Tiro ikut dalam gerakan DI di Aceh. Pada tahun 1953, Tiro bekerja sebagai staf Misi Indonesia untuk PBB di New York. Ketika terjadi pemberontakan DI, dengan serta merta Tiro mendukung gerakan DI dan menyatakan diri sebagai Duta Besar DI untuk PBB.

Bagi Tiro, apa yang dilakukan elit politik Jakarta bukan saja merampas hak-hak ekonomi-politik hampir seluruh wilayah Indonesia, namun juga menggadaikan kedaulatan ke tangan kekuatan kapitalis Barat. Karenanya, Aceh yang dalam pandangan Tiro memiliki latar belakang historis yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain patut menolak diam. Atas nama pembangunan, Jakarta telah mengambil seluruh sumber daya daerah, menenpatkan aparatnya untuk menekan reaksi terhadap kebijakan ini dan mengabaikan keadilan. Apa yang dilakukan GAM adalah untuk mengembalikan dan memastikan bahwa Bangsa Acheh-Sumateradapat hidup bermartabat. Apa yang dilakukan Jakarta dalam pandangan Tiro adalah bentuk kolonialisasi baru terhadap Aceh.

Pertumpahan darah dan jatuhnya korban sipil selama konflik terjadi tidak dapat dihindarkan. Perang bukan saja berupaya menghancurkan infrastruktur gerakan bersenjata, namun nyaris menghabisi seluruh bangunan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya Aceh. Bahkan lebih jauh, perang telah menyebabkan Aceh dikucilkan dan dipandang sebagai anak pembangkang. Propaganda pemerintah terhadap GAM telah menyebabkan masyarakat Aceh yang berada diAceh dan diluar Aceh mengalami diskriminasi, stigmatisasi dan bahkan penghukuman tanpa proses hukum.

Semua peta dan posisi politik baik pemerintah RI dan GAM berubah total paska tsunami Desember 2004. Keberhasilan Perundingan Damai dan terwujudnya MoU Pemerintah-RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu membuktikan; Aceh bukan bangsa yang tidak cinta damai, selama jalan damai tersebut menghargai marwahmereka. Ketika pemerintah RI membuka tawaran otonomi luas untuk Aceh, dengan segera GAM mencabut opsi merdeka dan bersedia melakukan perundingan dalam bingkai NKRI.

Semoga semua merupakan awal lahirnya damai di Aceh. Cukup sudah konflik menjadi memoria pasionist, yang tidak akan lagi terulang di masa yang akan datang. Tentu semua membutuhkan dukungan dan komitmen semua pihak, terutama Pemerintah RI dan GAM. Karena tanpa komitmen, kita hanya akan memulai suatu proses perlawanan baru di Aceh yang tidak dapat dipastikan kapan akan berhenti.

Senin, 30 April 2012

My Favorite Poems

Kenangan by Yusri Sulaiman 


Siang kali ini matahari biaskan teriknya
Desau semilir angin disela cemara yg tak lagi rimbun 
Mengitari bibir pantai dekat rumahku
Lamunanku kembali menyeruak
Kala itu aku bermain disana
Bermain dan terus bermain
Tak peduli panas yg myengat
Sayup-sayup terdengar bapak bertanya
"mana anak-ank?
"ummi mjawab, biasa pak mereka sedang bermain
Aku masih terus bersenda,melompat dan sesekali berteriak melagukan syair-syair yg tak berjudul
Hingga ummi mengingatkan dan berkata "sudah cukup mainnya siap-siap dhuhur kemudian makan siang
Saat itu kesal bercampur senang.. Lantunan ayat-ayat suci dari meunasah dikampungku membuyarkan lamunanku
Ya aku hrs bersiap-siap untuk kembali
Kembali menemui cintaku
“adinda tunggu cut bang kembali ya)”





Malam12 Februari 2012 by Kelda

Qibas mereka-pun masih berlari kencang
Menembus malam,merobek dingin-nya alam
Aduen-ku disana dengan sejuta cita
Namun dia juga pikul berjuta asa dari para laskar berhati baja...
Semoga esok kan berjalan sesuai harap
Dibawah damai Merah,Hitam,Putih yang berdiri tegap...

Menanti Waktu by Kelda

Kembali meninggalkan asalmula-ku
pergi tuk mengikuti alur syair yang sebentar lagi akan usai
Berharap semua hati dapat tersenyum bahagia dengan harmonisasi yang kucoba mainkan selama ini...semoga!!!

Menjemput Fajar by Kelda


Bersandar pada gelap
Berharap esok terang 'kan berjalan sesuai harap
Langkah terakhir meskipun tertatih 

Namun semua-nya akan genap terlewati
Smoga....





Coloured by Aly El Shaly


When I born, I black
When I grow up, I black
When I go in Sun, I black
When I scared, I black
When I sick, I black
And when I die, I still black
And you white fellow

            When you born, you pink
            When you grow up, you white
            When you go in sun, you red
            When you cold, you blue
            When you scared, you yellow
            When you sick, you green
            And when you die, you gray

And you calling me colored ?????

Seribu Saman by Fikar W. Eda

Seribu jemari
Lincah rapi
Menari
Melukis hujan
            Seribu siku
            Tempat  bertumpu
            Lengan dan bahu
            Menyibak awan
Seribu kepala
Bersusun rata
Rampak menyangga
Bukit dan hutan
            Seribu tubuh
            Benteng teguh
            Tak lepuh
            Menahan hempasan
Seribu tangan bersaman
Melukis hujan
Seribu siku bersaman
Menyibak awan
Seribu kepala bersaman
Menyangga bukit dan hutan
Seribu tubuh bersaman
Menahan hempasan
            Dengarkan  suara itu
            Lengking ikhlas orang-orang tanpa alas kaki
            Dering pahit tanpa keluh dari  relung Leuser
            Gema bersahut dari bukit-bukit gembur
            Menderu dalam gumam orang-orang Terangon
            Memantul di dinding tebing Pining
            Mengabarkan keteguhan
            Mengibarkan harapan
Bukit ke bukit
Angin bersaman
Belantara bersaman
Rabalah perih kami
            Lembah ke lembah
            Sungai bersaman
            Batu bersaman
            Bebaskan belenggu kami
Bersama desau pinus yang lembut
Kami kirimkan saman
Untuk mu!!

Nyeri Aceh by Fikar W. Eda   

Suarasurabaya.net| .....langit gelap
Ombak membentuk lipatan
Menerjang dari arah belakang
Tubuh rapuh tersentak ke depan
Membentur beton-beton
Terdorong ribuan meter
Bocah-bocah itu
Bagai kipas terlilit gulungan laut
Terdampar di tanah datar
Menghapus jejak-jejak di pasir
Lenyaplah tawa
Raiblah canda

            Nestapa Aceh dalam nyeri dan perih kami
            Jangan kalian cari lagi Meulaboh
            Jangan kalian tanya di mana Banda Aceh
            Di mana Calang, Teunom, Lamno,
            Lhokseumawe, Bireuen, Sigli
            Peta-peta telah koyak
            Terlipat dalam gulungan laut.....