Sabtu, 05 Mei 2012

Segala Kekhasan Aceh, Marwah yang tak mudah dihancurkan

By Antony Reid


“…Akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan,Segala kekhasan Aceh adalah marwah (harkat-martabat) yang tak mudah dirampas atau bahkan dihancurkan. Selain itu, sejak tahun 1990-an, mereka juga menjadi korban bersalah atau tidak bersalah akibat perang di wilayah mereka, atas apa dan bagaimana Aceh harus tetap menjadi bagian dari Indonesia…??”

Kutipan pernyataan Anthony Reid di atas pada pengantar Buku The Contest for North Sumatera Acheh, The Netherlands and Britain 1858-1898, edisi Bahasa Indonesia yang diterbitkan penerbit Yayasan Obor Indonesia, dengan sangat tepat menggambarkan kenyataan hidup orang-orang Aceh sampai dengan hari ini.

Reid sebagai peneliti sejarah dengan baik mencatat satu periode konflik di Aceh, kemudian bangsa Indonesia menjadi saksi hidup periode konflik sesudahnya yang mengandung kekerasan yang tak kalah memilukan. Kita sebagai saksi hidup yang melihat, mendengar, berempati, membela, atau mungkin memberikan stigma atas mereka, lalu mendiamkan tragedi kekerasan berpesta pora di Aceh.

Apa yang ingin ditunjukkan oleh pernyataan Reid di atas adalah suatu kontuitas dari sebuah ritus bernama konflik. Sayangnya, sebagaimana koloni Belanda dan Inggris melawan bangsa Aceh sebagai penghambat kepentingan projek kolonisasi, demikian pula ‘negara’ kita memperlakukan rakyat Aceh sebagai ‘duri dalam daging’, masalah dalam integrasi NKRI dan integritas nasional, tanpa kejujuran memahami dan menyelesaikan akar persoalan dan kemauan memilah antara problem masyarakat sipil Aceh dan GAM..

Dengan gamblang Reid ini menunjukkan, bahwa akar persoalan Aceh adalah kepentingan ekonomi politik, baik dari bangsa yang ingin menguasai dan bangsa yang ingin mempertahankan. Sebagai ‘pemulung catatan sejarah’ Reid berhasil menyatakan bahwa segala kekhasan Aceh adalah marwah (martabat) yang tak mudah dirampas atau dihancurkan. Marwah itu berupa sumber daya, tradisi, kebudayaan, kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta suku-suku mereka. semua telah membuktikan kekuatan marwah itu, baik kolonial Portugis, Inggris dan Belanda, serta terakhir Indonesia (baca; elit politik Jakarta). Seperti macan yang tertidur, marwah yang terganggu akan meraung dan melawan dengan segala cara.

Tulisan ini akan membedah tulisan Reid dengan satu maksud; memberikan suatu analisa umum perihal konflik pada masa lalu dan menjelaskan mengapa konflik tersebut berlanjut paska kemerdekaan dan penyatuan Aceh dalam NKRI. Juga bagaimana konflik pada suatu masa yang dituangkan Reid dalam bukunya terekam kuat pada setiap keturunan orang-orang Aceh, dan dengan pemahaman yang kurang lebih sama dan memberikan jawaban yang sama, berupa ‘pemberontakan’ atas nama marwah. Sebagai pelengkap, sedikit akan diulas problem kontemporer yang menjadi penyebab konflik Aceh bertahan sampai dengan perundingan damai paska tsunami yang berujung pada MoU 15 Agustus 2005 lalu.

Upaya Rakyat Aceh Bertahan dari Kolonialisasi

Sebagaimana diketahui, Aceh pada abad ke 11 merupakan pelabuhan transit bagi pedagang India dan Arab yang berniaga ke China dan pusat perdagangan rempah-rempah di Sumatera. Pada abad ke 13, kerajaan Samudra (Pasai) menjadi kerajaan terkemuka yang mengelola pelabuhan dagang di ujung sumatera tersebut, bersaing dengan kerajaan Malaka.

Pasai muncul sebagai kekuatan baru pusat perdagangan dan pengetahuan Islam setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Daratan Aceh yang terpecah-pecah dalam kerajaan-kerajaan kecil berhasil di satukan (dikuasai) penguasa kerajaan Aceh, Sultan Ali Mughayat Shah di bawah satu kepentingan, yaitu membangun kekuatan melawan Portugis.

Pada bulan Mei 1521, Ali berhasil mengalahkan armada Portugis di bawah pimpinan Jorge de Brito di laut lepas; awal dari pertempuran yang terus menerus berlangsung selama kekuasaan Portugis di Malaka, 120 tahun. Ali juga berhasil menjadikan Bandar Aceh Dar-es-Salaam sebagai jalur baru perdagangan muslim melalui selat Sunda, bukan lagi selat Malaka. Dengan ambisi mengalahkan Portugis dan memonopoli hasil ekspor Sumatera dan Malaya, kerajaan Aceh mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh dengan imbalan bantuan militer Turki untuk melawan Portugis.

Wilayah ini mencapai puncak kejayaannya di tangan Sultan Iskandar Muda(1607-36). Kerajaan mampu mengendalikan pelabuhan-pelabuhan strategis di pantai Barat dan Timur, bahkan sampai ke wilayah Asahan di Selatan. Hampir seluruh awal abad ke 17 merupakan tahun-tahun permusuhan dan peperangan antara Aceh dan Portugis. Akibat permusuhan ini, kapal-kapal dagang dari wilayah-wilayah yang dikuasai Portugis seperti Goa dan Malaka sama sekali tidak bisa menyinggahi Aceh.

Pasca wafatnya Iskandar Muda, kekuatan kerajaan Aceh meredup. Jabatan politik (Imam, Uleebalang, mantroe, panglima Sagoe) yang awalnya dipegang untuk kepentingan menjalankan kendali pemerintahan dan perang, menjadi jabatan turun-temurun dan mendapat kedudukan resmi dan terkemuka. Tidak ada lagi Sultan yang cukup kuat dan dipatuhi semua pihak, sehingga praktis Sultan tidak mampu mengambil tindakan apapun tanpa persetujuan para Uleebalangterkemuka.

Pada masa-masa awal kerajaan Aceh, hampir seluruh ekspedisi dagang Eropa (Inggris, Prancis, Belanda, Portugis dan Spanyol) pernah memasuki Aceh dan diterima dengan baik. Ekspedisi ini kian langkah seiring dengan meningkatnya ketegangan akibat ekspansi dan persaingan dagang di perairan ujung Sumatera tersebut. Hanya dengan pedagang Prancis dan Inggris kerajaan Aceh dapat berhubungan dagang cukup baik, selebihnya gagal dan berakhir dengan permusuhan dan peperangan.

Restrukturisasi kesultanan di tangan dinasti Arab pada 1699 dan dinasti Bugis pada 1727 gagal memulihkan kemakmuran kesultanan tersebut. Pada tahun-tahun ini Banda Aceh hanya menerima penghasilan dari perdagangan dan persinggahan di pelabuhan dengan nilai yang tak seberapa. Perdagangan secara umum dikuasai pedagang Inggris yang bermarkas di India sehingga mendorong keinginan mereka untuk mendirikan pusat pengunpulan hasil bumi. Serangkaian pendekatan pada tahun 1762 ditolak mentah-mentah sehingga akhirnya pada tahun 1786 Inggris memutuskan mencari tempat lain, Penang. Tak lama sesudah itu, budidaya lada yang diperkenalkan di Aceh berhasil gemilang. Pada tahun 1820-an, Aceh menjadi penghasil separuh dari total produksi dunia, dengan pembeli pedagang-pedangan Amerika hingga tahun 1850-an.

Pada periode ini, Aceh mau tidak mau terseret dalam perang kepentingan dagang Inggris, Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Dukungan Inggris kepada penguasa Aceh yang menghadapi pemberontakan dari kalangan keluarga kerajaan tak lain dimaksudkan untuk mempertahankan persekutuan menghadapi Belanda. Bagi penguasa Aceh dukungan ini penting untuk menghadapi oposisi dari kalangan keluarga kerajaan, dimana perusahaan India Timur memasok senjata dan uang dan menggunakan pengaruh mereka untuk melemahkan dan mengusir kalangan oposisi.
Karenanya kesultanan memberikan keistimewaan kepada Inggris berupa janji untuk tidak campur tangan dalam urusan perdagangan Inggris di Uleele danLhokseumawe, menetapkan persekutuan pertahanan Inggris-Aceh, tidak akan membuat perjanjian dengan bangsa asing tanpa persetujuan Inggris dan memberikan hak kepada perusahaan India Timur untuk untuk berlabuh di semua pelabuhan Aceh dan menempatkan utusan di istana Sultan. Perjanjian tersebut tidak berjalan seluruhnya, dan situasi kerajaan tidak juga membaik.

Paska perjanjian Inggris-Belanda, Inggris dan Belanda sama-sama memandangAceh sebagai wilayah yang ‘merdeka’ tidak boleh dikuasai salah satu dari mereka. Karenanya dengan segera Belanda dan Inggris menyiapkan sikap bersahabat dan pengakuan untuk Aceh dan merencanakan perjanjian yang baru. Sementara Inggris tidak lagi memandang strategis mempertahankan persekutuan denganAceh dengan adanya perjanjian tersebut. Inggris yang berkuasa di Penang mulai memutuskan untuk tidak meneruskan rencana pembuatan perjanjian dengan alasan tidak akan efektif dan merugikan, karena itu berarti mengakui kekuasaanSultan Aceh. Belanda yang mengharapkan ada pemasukan baru di wilayahnya tetap berupaya menguasai Sumatera secara keseluruhan.

Belanda sendiri pernah datang ke Aceh pada tahun 1599, Sayangnya dua bersaudara Cornelis dan Frederik de Houtman datang ketika hubungan dagang kerajaan dengan Portugis sedang baik dan Belanda sendiri merupakan musuh dengan Portugis. Cornelis mati terbunuh, sedangkan Frederik ditawan. Pada November 1600 Paulus van Caerden berhasil membuat perjanjian dagang denganAceh, namun gagal membawa lada karena dibongkar paksa di pelabuhan Acehatas hasutan Portugis. Hubungan dengan Portugis kemudian putus dan hubungan dengan Belanda membaik. Tahun 1601 pedagang Belanda bernama Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal dari maskapai Zeeuw berlabuh diBanda Aceh.

Tanggal 8 April 1873 tentara Belanda mendarat di pantai Kuta Pante Ceureumen dan memulai peperangan dengan dipimpin oleh Jendral Mayor Kohler. Peperangan ini gagal dimenangkan Belanda. Akhir November 1873 ekspedisi ke II Belanda Tiba di Aceh dan mulai meyerang serta merebut Masjid Raya tanggal 25 Desember 1873 dan istana tanggal 24 Januari 1874. Semenjak Belanda merebut Bandar Aceh Darussalam pemerintahan Aceh berpindah dari satu tempat ke tempat dimana pasukan induk bermarkas. Sampai tahun 1896 peperangan masih seimbang karena pejuang Aceh sanggup merebut beberapa tempat yang berada di tangan Belanda. Tanggal 1 Juni 1898 Kolonel Van Heutsz melancarkan serangan besar-besaran ke Pidie dan daerah lainya untuk memburu Sultan dan Panglima Polem.

Setelah penangkapan-penangkapan terhadap pejuang Aceh dan keluarga sultan, pada tanggal 20 Januari 1903 Sultan ‘Alauddin Muhammad Daud Syah menyatakan –di bawah tekanan—bahwa Kerajaan Aceh menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan dia akan setia kepada Ratu Belanda dan wakilnya Gubernur Jenderal. Meskipun demikian Sultan tetap mengadakan hubungan rahasia dengan pemimpin-pemimpin perang Aceh, sehingga oleh Belanda dibuang ke Ambon.

Tentara Jepang masuk ke Aceh pada tanggal 12-13 Maret 1942 tanpa menghadapi perlawanan dari Belanda karena beberapa hari sebelum pendaratan Belanda sudah bergerak ke pedalam Aceh dan Sumatera Timur akibat perlawanan rakyat. Kekalahan Belanda di Palembang tanggal 14 Februari dan 1 Maret atas Jepang telah meyakinkan rakyat Aceh bahwa Belanda telah kehilangan kekuatan. Rakyat Aceh menerima Jepang sebagai pembebas dan bersimpatik karena mereka mengizinkan pengibaran bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya. Namun lama kelamaan rakyat Aceh merasa kecewa dan marah karena Jepang memerintahkan mereka “menyembah matahari” setiap pagi –dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Pemberontakan terhadap Jepang terjadi di Lhokseumawe dan di Pandrah pada bulan Mei 1945.

Upaya Aceh Mempertahankan Pengakuan Identitas Diri

Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) lahir pada tanggal 5 Mei 1939 Peusangan, Bireun, dengan pimpinan Tengku Moehammad Daud Beureuh. PUSA merupakan kekuatan politik baru paska jatuhnya kekuasaan sultan ke tangan Hindia Belanda sebagai kelanjutan perlawanan Aceh di bawah pimpinan ulama. Organisasi yang didirikan untuk memperbaharui dan memajukan pendidikan Islam ini berubah menjadi organisasi yang berorientasi pada politik praktis, karena menjadi wadah perjuangan ulama Aceh (Tengku) melawan elit tradisional atau ulebalang (Teuku) yang dipandang berpihak pada Belanda.

Pada mulanya PUSA tidak terlihat sebagai kubu anti-Belanda dan anti-ulebalang, tetapi terlihat sebagai organisasi Islam modern yang di dalamnya juga terdapat beberapa ulebalang. Menjelang akhir kekuasaan Belanda PUSA tumbuh menjadi organisasi nasionalis murni yang anti-Belanda dan ulebalang yang digunakan Belanda menjadi alat pemerintahan di Aceh. Kalangan ulebalang dianggap tidak bisa diharapkan karena begitu berakar dalam sistem pemerintahan kolonial. Pertikaian ini berlanjut hingga masa kemerdekaan.

Beberapa bulan setelah Jepang menyerah, terjadi “perang saudara” di Aceh. Ulebalang diserang oleh ulama dan pengikutnya di seluruh Aceh. Konflik ini tidak bisa disederhanakan sebagai perang atau pertentangan antara adat dan agama atau antara kaki tangan Belanda dan Pembela kemerdekaan, namun juga dimasuki motif ekonomi dan politik. Melalui revolusi sosial kaum ulama ini peran sosial, politik dan ekonomi kaum ulebalang dilenyapkan. Dalam dua bulan (Desember 1945-Januari 1946) kaum ulebalang dimusnahkan, sedangkan yang masih tersisa diharuskan melepaskan hak-hak turun-temurun, disita hartanya dan mereka yang memangku jabatan penting dalam pemerintahan sipil dan militer Indonesia dipaksa untuk mengundurkan diri. Jabatan-jabatan ini kemudian diisi oleh kaum ulama PUSA.

Sebagai reaksi terhadap pemerintah pusat yang acuh tak acuh, pada tanggal 21 September 1953 Tengku Daud Beureuh akhirnya memproklamasikan Aceh sebagai Negara Islam (Darul Islam) dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Imam SM Kartosuwiryo. 38 hari setelah “pemberontakan” tersebut Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan resmi pemerintah dengan menyatakan bahwa pemberontakan tersebut merupakan pemberontakan segelintir rakyat Aceh. Padahal suasana di seluruh wilayah Aceh terasa sangat revolusioner. Sewaktu mengepung dan menyerang pusat-pusat militer di kota-kota, “tentara” Darul Islam (DI) memandang TNI sebagai tuntra kaphee (tentara kafir) dan meneriakkan “Allahuakbar”. Semangat tersebut bertambah marak dengan berkibarnya bendera DI yang bergambar bintang dan bulan sabit putih di atas dasar merah.

Tanggal 19 September 1953 serangan terhadap pasukan pemerintah di Aceh Timur dan Utara dimulai. Pos polisi di Peureulak diserang ribuan rakyat. Semua komunikasi dengan Aceh putus tanggal 21 September. Tanggal 23-24 September Angkatan Udara membom pasukan DI di Bireuen. Takengon jatuh ke tangan DI setelah pasukan pemerintah mundur ke Bireun. Pemerintah berusaha membujuk rakyat Aceh dengan menyebarkan beribu-ribu edaran yang menyatakan bahwa tindakan DI adalah ilegal dan memperalat agama.

Setelah pertumpahan darah dan perundingan yang alot dan adanya persetujuan otonomi untuk Aceh situasi agak mereda. Sebagian prajurit Tentara Islam setelah melalui screening wajib akan dijadikan wajibmiliter darurat. Tanggal 1 Oktober 1959 pemerintah membentuk Divisi Tengku Cik Ditiro sebagai bagian khusus dari divisi tentara di Aceh (Kodam Iskandar Muda). Pegawai-pegawai DI mendapat perlakuan sama. Ini berarti bahwa Pemerintah daerah Aceh akan mengangkat bekas pemberontak yang menyatakan setia dengan Republik Indonesia sebagai pejabat sipil.

Upaya Aceh Mempertahankan Sumber Daya Ekonomi-Politik

Pada tahun 1965, tak berapa lama setelah Aceh kembali menyatakan kesediaan menjadi bagian dari NKRI dan pemberian status Daerah Istimewa, terjadi perubahan politik yang luar biasa di Jakarta. Pemerintahan Orde Lama Soekarno dilengserkan melalui ‘kudeta’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Soeharto. ‘Kudeta’ ini berlangsung mulus dengan memanfaatkan momentum krisis ekonomi-politik, ketidakpercayaan terhadap konsep politik presiden (terutama dari kalangan militer) dan kekhawatiran menguatnya Partai Komunis Indonesia yang menjadi 5 besar pada Pemilu 1955.
Sebagai salah satu wilayah yang kecewa dengan sikap politik Soekarno, menolak kekuatan PKI, dan menyimpan harapan baru otonomi Aceh di bawah status Daerah Istimewa, kudeta ini juga mendapat ‘restu’ masyarakat politik Aceh.

Soeharto sebagai simbol anti-komunis dan terkesan ‘bersahabat dengan Islam’ diterima secara umum di Aceh. Bahkan Ulama setempat pun juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pembunuhan orang-orang komunis. Beberapa laporan menyebutkan angka pembantaian yang cukup bombastis sampai dengan puluhan ribu oleh militer dan rakyat terhadap pengikut PKI .

Harapan tersebut ternyata terlalu berlebihan. Tak lama setelah pemerintahan baru berkuasa, tidak hanya harapan akan diakuinya nilai-nilai Islam sebagai bagian dari kehidupan sosial politik Aceh yang hilang, tapi juga ruang aspirasi politik lokal dihapuskan melalui kebijakan pemerintahan yang sentralistik. Mereka hanya memberikan ruang kecil bagi Aceh untuk menerima hak status Daerah Istimewa yang dijanjikan rezim terdahulu, yaitu ruang apresiasi budaya yang terbatas, sementara janji otonomi ekonomi-politik dilupakan. Pemerintah Pusat dengan segera menghapuskan sistem pemerintahan lokal dan menyeragamkan sistem pemerintahan di Aceh dengan provinsi lainnya dan menempatkan ‘orang-orang pusat’ untuk melakukan kontrol ekonomi-politik. Semua dilakukan sebagai upaya membangun stabilitas ekonomi-politik paska 1965.

Pada masa kerajaan Aceh, wilayah ini dikenal sebagai wilayah penghasil hasil pertanian terbaik. Sampai dengan tahun 1969 Aceh tetap menjadi daerah “Lumbung Padi Indonesia”. Kondisi ini berubah total paska ditemukannya sumber gas alam oleh Mobil Oil Indonesia pada 1971 di Kabupaten Aceh Utara. Pada tahun 1977, penambangan mulai dilakukan, dan wilayah ini dinyatakan sebagai Zona Industri Lhoseumawe. Pada tahun 1980-an, pertambangan ini telah menyumbangkan 30 % dari total produksi minyak dan gas Indonesia, terutama gas untuk kebutuhan ekspor.

Pada periode 1990-an, jumlah tersebut meningkat menjadi 40 % yang hampir seluruhnya (90 %) diekspor ke Jepang dan Taiwan (dengan kontrak kerjasama suplay 20 tahun).Pada tahun 1989, perusahaan Kertas Kraft Aceh juga mulai berproduksi, perlahan-lahan menghabisi hutan-hutan pinus pegunungan Aceh. Malangnya, di tengah berlimpahnya sumber daya alam, propinsi Aceh justru menjadi propinsi ke 26 termiskin penduduknya di Indonesia.

Gemerlap ekonomi ini tidak dengan serta merta membawa perubahan kehidupan ekonomi Aceh. Meskipun telah ditemukan gas alam, masyarakat tetap mengandalkan sumber pertanian dan laut sebagai sumber kehidupan yang tidak seberapa, sangat kontras dengan kehidupan di kompleks zona industri. Sampai dengan pertengahan 1970-an tak ada satu pun Sekolah Teknik Menengah di kabupaten ini, dimana melalui sekolah ini masyarakat setempat berharap bisa melanjutkan pendidikan dan bekerja di pertambangan tersebut. Hampir seluruh posisi strategis perusahaan diisi pekerja-pekerja dari luar Aceh. Yang juga terjadi adalah hilangnya tanah-tanah pertanian penduduk akibat digunakan sebagai kawasan industri dan dan pemindahan penduduk ke desa-desa baru (yang dalam beberapa kasus itu hanya berupa janji-janji).

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Acheh/Sumatera National Liberation Front (ASNLF) muncul sebagai reaksi paling ekstrim terhadap ketidakadilan ekonomi-politik paska pemberian status Daerah Istimewa di Aceh. Sebagai reaksi atas penghianatan Jakarta dan rasa frustasi terhadap pilihan mayoritas masyarakat untuk menggunakan jalur loby politik formal yang selalu gagal, GAM mengambil posisi mengorganisir gerakan bersenjata. Tengku Hasan M. Di Tiro, mendeklarasikan gerakan ini pada Oktober 1976. Pada tahun 1950-an, Tiro ikut dalam gerakan DI di Aceh. Pada tahun 1953, Tiro bekerja sebagai staf Misi Indonesia untuk PBB di New York. Ketika terjadi pemberontakan DI, dengan serta merta Tiro mendukung gerakan DI dan menyatakan diri sebagai Duta Besar DI untuk PBB.

Bagi Tiro, apa yang dilakukan elit politik Jakarta bukan saja merampas hak-hak ekonomi-politik hampir seluruh wilayah Indonesia, namun juga menggadaikan kedaulatan ke tangan kekuatan kapitalis Barat. Karenanya, Aceh yang dalam pandangan Tiro memiliki latar belakang historis yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain patut menolak diam. Atas nama pembangunan, Jakarta telah mengambil seluruh sumber daya daerah, menenpatkan aparatnya untuk menekan reaksi terhadap kebijakan ini dan mengabaikan keadilan. Apa yang dilakukan GAM adalah untuk mengembalikan dan memastikan bahwa Bangsa Acheh-Sumateradapat hidup bermartabat. Apa yang dilakukan Jakarta dalam pandangan Tiro adalah bentuk kolonialisasi baru terhadap Aceh.

Pertumpahan darah dan jatuhnya korban sipil selama konflik terjadi tidak dapat dihindarkan. Perang bukan saja berupaya menghancurkan infrastruktur gerakan bersenjata, namun nyaris menghabisi seluruh bangunan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya Aceh. Bahkan lebih jauh, perang telah menyebabkan Aceh dikucilkan dan dipandang sebagai anak pembangkang. Propaganda pemerintah terhadap GAM telah menyebabkan masyarakat Aceh yang berada diAceh dan diluar Aceh mengalami diskriminasi, stigmatisasi dan bahkan penghukuman tanpa proses hukum.

Semua peta dan posisi politik baik pemerintah RI dan GAM berubah total paska tsunami Desember 2004. Keberhasilan Perundingan Damai dan terwujudnya MoU Pemerintah-RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu membuktikan; Aceh bukan bangsa yang tidak cinta damai, selama jalan damai tersebut menghargai marwahmereka. Ketika pemerintah RI membuka tawaran otonomi luas untuk Aceh, dengan segera GAM mencabut opsi merdeka dan bersedia melakukan perundingan dalam bingkai NKRI.

Semoga semua merupakan awal lahirnya damai di Aceh. Cukup sudah konflik menjadi memoria pasionist, yang tidak akan lagi terulang di masa yang akan datang. Tentu semua membutuhkan dukungan dan komitmen semua pihak, terutama Pemerintah RI dan GAM. Karena tanpa komitmen, kita hanya akan memulai suatu proses perlawanan baru di Aceh yang tidak dapat dipastikan kapan akan berhenti.

Senin, 30 April 2012

My Favorite Poems

Kenangan by Yusri Sulaiman 


Siang kali ini matahari biaskan teriknya
Desau semilir angin disela cemara yg tak lagi rimbun 
Mengitari bibir pantai dekat rumahku
Lamunanku kembali menyeruak
Kala itu aku bermain disana
Bermain dan terus bermain
Tak peduli panas yg myengat
Sayup-sayup terdengar bapak bertanya
"mana anak-ank?
"ummi mjawab, biasa pak mereka sedang bermain
Aku masih terus bersenda,melompat dan sesekali berteriak melagukan syair-syair yg tak berjudul
Hingga ummi mengingatkan dan berkata "sudah cukup mainnya siap-siap dhuhur kemudian makan siang
Saat itu kesal bercampur senang.. Lantunan ayat-ayat suci dari meunasah dikampungku membuyarkan lamunanku
Ya aku hrs bersiap-siap untuk kembali
Kembali menemui cintaku
“adinda tunggu cut bang kembali ya)”





Malam12 Februari 2012 by Kelda

Qibas mereka-pun masih berlari kencang
Menembus malam,merobek dingin-nya alam
Aduen-ku disana dengan sejuta cita
Namun dia juga pikul berjuta asa dari para laskar berhati baja...
Semoga esok kan berjalan sesuai harap
Dibawah damai Merah,Hitam,Putih yang berdiri tegap...

Menanti Waktu by Kelda

Kembali meninggalkan asalmula-ku
pergi tuk mengikuti alur syair yang sebentar lagi akan usai
Berharap semua hati dapat tersenyum bahagia dengan harmonisasi yang kucoba mainkan selama ini...semoga!!!

Menjemput Fajar by Kelda


Bersandar pada gelap
Berharap esok terang 'kan berjalan sesuai harap
Langkah terakhir meskipun tertatih 

Namun semua-nya akan genap terlewati
Smoga....





Coloured by Aly El Shaly


When I born, I black
When I grow up, I black
When I go in Sun, I black
When I scared, I black
When I sick, I black
And when I die, I still black
And you white fellow

            When you born, you pink
            When you grow up, you white
            When you go in sun, you red
            When you cold, you blue
            When you scared, you yellow
            When you sick, you green
            And when you die, you gray

And you calling me colored ?????

Seribu Saman by Fikar W. Eda

Seribu jemari
Lincah rapi
Menari
Melukis hujan
            Seribu siku
            Tempat  bertumpu
            Lengan dan bahu
            Menyibak awan
Seribu kepala
Bersusun rata
Rampak menyangga
Bukit dan hutan
            Seribu tubuh
            Benteng teguh
            Tak lepuh
            Menahan hempasan
Seribu tangan bersaman
Melukis hujan
Seribu siku bersaman
Menyibak awan
Seribu kepala bersaman
Menyangga bukit dan hutan
Seribu tubuh bersaman
Menahan hempasan
            Dengarkan  suara itu
            Lengking ikhlas orang-orang tanpa alas kaki
            Dering pahit tanpa keluh dari  relung Leuser
            Gema bersahut dari bukit-bukit gembur
            Menderu dalam gumam orang-orang Terangon
            Memantul di dinding tebing Pining
            Mengabarkan keteguhan
            Mengibarkan harapan
Bukit ke bukit
Angin bersaman
Belantara bersaman
Rabalah perih kami
            Lembah ke lembah
            Sungai bersaman
            Batu bersaman
            Bebaskan belenggu kami
Bersama desau pinus yang lembut
Kami kirimkan saman
Untuk mu!!

Nyeri Aceh by Fikar W. Eda   

Suarasurabaya.net| .....langit gelap
Ombak membentuk lipatan
Menerjang dari arah belakang
Tubuh rapuh tersentak ke depan
Membentur beton-beton
Terdorong ribuan meter
Bocah-bocah itu
Bagai kipas terlilit gulungan laut
Terdampar di tanah datar
Menghapus jejak-jejak di pasir
Lenyaplah tawa
Raiblah canda

            Nestapa Aceh dalam nyeri dan perih kami
            Jangan kalian cari lagi Meulaboh
            Jangan kalian tanya di mana Banda Aceh
            Di mana Calang, Teunom, Lamno,
            Lhokseumawe, Bireuen, Sigli
            Peta-peta telah koyak
            Terlipat dalam gulungan laut.....

Selasa, 24 April 2012

Aceh in conflict


During 1970s, under agreement with Indonesian central government, American oil and gas companies began exploitation of Aceh natural resources. Alleged unequal distribution of profit between central government and native people of Aceh induced Hasan di Tiro, former ambassador of Darul Islam,[15] to call for Independent Aceh. He proclaimed Aceh Independence in 1976.


The movement had a small number of followers initially, and Hasan Tiro himself had to live in exile in Sweden. Meanwhile, the province followed Suharto's policy of economic development and industrialization. During late 80s several security incidents prompted the Indonesian central government to take repressive measures and to send troops to Aceh. Human rights abuse was rampant for the next decade, resulting in many grievances on the part of the Acehnese toward the Indonesian central government.

During late 90s, chaos in Java and an ineffective central government gave an advantage to Free Aceh Movement and resulted in the second phase of the rebellion, this time with large support from the Acehnese people. This support was demonstrated during the 2000 plebiscite in Banda Aceh which was attended by nearly half million people (of four million population of the province). Indonesian central government responded in 2001 by broadening Aceh's autonomy by giving its government the right to apply sharia law more broadly and the right to receive direct foreign investment.

This was again accompanied by repressive measures, however and in 2003 an offensive began and a state of emergency was proclaimed in the Province. The war was still going on when the Tsunami Disaster of 2004 struck the province.


Gideon Sundback: Sang Penemu Ritsleting di Logo Google


Gideon Sundback merupakan insinyur listrik berkebangsaan campuran Amerika Swedia. Gideon Sundback sering dikaitkan dengan prestasinya dalam pengembangan ritsleting (retsleting / zipper).
Hari ini, Selasa 24 April 2012 merupakan ulang tahun Gideon Sundback yang ke 132. Tanpa jasa beliau, mungkin busana yang kita kenakan tidak akan mempunyai ritsleting canggih seperti sekarang ini. Karena itu Google memperingatinya dengan memasang ritsleting pada logo Google.
Bernama lengkap Otto Fredrik Gideon Sundback, beliau lahir di Swedia. Dia adalah anak dari Jonas Otto Magnusson Sundback, seorang petani kaya, sang ibu bernama Kristina Karolina Klasdotter. Setelah menghabiskan masa studinya di Swedia, Sundback pindah ke Jerman, dimana ia belajar di sekolah politeknik di Bingen am Rhein. Pada tahun 1903, Sundback mengambil ujian insinyur nya. Pada tahun 1905, ia pindah ke Amerika Serikat.
Di Amerika, Gideon Sundback mulai bekerja di Westinghouse Electric dan Manufacturing Company di Pittsburgh, Pennsylvania. Setahun kemudian, ia dipekerjakan oleh Universal Fastener Company di Hoboken, New Jersey. Pada tahun 1909, Sundback menikahi Elvira Aronson, putri dari manajer pabrik kelahiran Swedia, selanjutnya Sundback dipromosikan ke posisi kepala desainer di Universal Fastener.
Meskipun bukan pencetus pertama dari ritsleting, Gideon Sundback telah membuat beberapa kemajuan dalam pengembangan ritsleting antara 1906 dan 1914. Dia bertanggung jawab untuk meningkatkan “Judson C-curity Fastener“. Saat itu produk perusahaan masih berdasarkan kait dan kancing. Sundback mengembangkan versi perbaikan dari C-curity, yang disebut “Plako”.
Ia meningkatkan jumlah elemen pengancing dari empat per inci sampai sepuluh atau sebelas. Penemuan-nya memiliki dua baris gigi berhadapan yang ditarik ke dalam satu bagian dengan slider, dan meningkatkan pembuka untuk gigi yang dipandu oleh slider.
Di tahun 1914 Sundback mengembangkan sebuah versi baru dengan kode nama “No Hookless 2“, yang merupakan logam ritsleting modern seperti yang kita kenal sekarang ini. Atas penemuannya ini, beliau dihadiahi paten Amerika Serikat no. 1219881 untuk “Fastener Separable” dikeluarkan pada tahun 1917.
Ritsleting sendiri dipopulerkan pada tahun 1923 oleh BF Goodrich, setelah dipasang pada produk sepatu boot mereka. Dua puluh tahun kemudian, industri fashion mulai menerapkan penggunaan ritsleting, tepatnya di masa Perang Dunia II dimana para tentara mulai menggunakan celana panjang dan baju dengan ritsleting modern.

Minggu, 22 April 2012

ACEH

1.Mesjid Bairurrahman


Besar Mesjid Baiturrahman adalah sebuah masjid yang besar untuk menyaksikan sejarah keagungan sejarah diam, keagungan dan kemuliaan dari kerajaan Aceh Darussalam sejarah selama berabad-abad.Dunia Eropa memahami bahwa Kesultanan adalah Iskandar Muda Aceh mencapai kemajuan begitu cepat, sehingga sering disebut masa kejayaan Aceh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada saat Iskandar Muda bertanggung jawab atas dunia, terutama Eropa Portugis yang telah diduduki Malaka dan abad Asia lainnya lalu karena gagal menaklukkan Aceh beberapa, menurut review dan analisis pakar dari Portugis menjelaskan bahwa pada saat Iskandar Muda dalam kekuasaan, kekuatan militer di Aceh berada di puncak kemuliaan dan kekuasaan di luar di Portugis, Portugis adalah kekuatan Eropa pada waktu itu membuat ekspansi kedunia luar untuk menemukan sumber perekonomian. Portugis pertama kali memasuki Asia, khususnya Asia Tenggara setelah beberapa abad kemudian, diikuti oleh gelandangan-gelandangan dari Belanda Baru, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.



Satu abad sebelum kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang justru kesultanan Sultan Alauddin Riayat Syah Al-anak Sultan Alaiddin Kahhar mahkota Mughayatsyah percaya bahwa sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, telah membawa kerajaan Aceh terhadap sinyal. Pada saat Sultan Al-Kahhar kekuatan membuka hubungan dengan dunia luar, termasuk; Gujarat / India, negara-negara Arab, Mesir, Turki, Cina dan negara-negara dunia dari Eropa dan Amerika juga menjual cepat dengan kerajaan Aceh Darussalam .

Kemenangan dicapai oleh sultan Al-Kahhar dan yang diwarisi dan dikembangkan oleh Sultan Iskandar Muda, kemenangan di Iskandar Muda di Aceh sebagai mempesonakan dan menakjubkan dunia di Eropa, sehingga kerajaan Aceh dan selalu panggilan oleh pedagang Eropa selama tahun itu, dan Portugis pada waktu itu adalah negara maju di Eropa mewakili dunia tidak pernah menyerah kepada Aceh untuk perdagangan di sepanjang selat Malaka ke port pusat perdagangan dunia.

Kemenangan dicapai oleh sultan Al-Kahhar dan yang diwarisi dan dikembangkan oleh Sultan Iskandar Muda, kemenangan di Iskandar Muda di Aceh sebagai mempesonakan dan menakjubkan dunia di Eropa, sehingga kerajaan Aceh dan selalu panggilan oleh pedagang Eropa selama tahun itu, dan Portugis pada waktu itu adalah negara maju di Eropa mewakili dunia tidak pernah menyerah kepada Aceh untuk perdagangan di sepanjang selat Malaka ke port pusat perdagangan dunia.

Terlalu banyak kekayaan bahwa bumi adalah harta karun yang tidak sepenuhnya di kepulauan pulau membuat orang Portugis nafsu untuk semua hari lagi bahwa perut lebih. Portugis tidak rela meninggalkan manfaat perdagangan jatuh ke tangan orang lain, meskipun mereka sendiri telah berhasil mengambil keuntungan dua kali lipat selama periode sebelum kesempatan berlalu-lalang di Malaka. Profesor CRBoxer merekam apa yang dikemukakan oleh Jorge de Lamos, direktur treasury dalam bahasa Portugis Goa / India sekitar tahun 1590-an, hasil yang diperoleh dari perdagangan sultan Aceh di luar negeri untuk Laut Merah dalam satu tahun. Hasil ekspor lada dan lain-lain sebanyak 30.000 sampai 40.000 kwintal bernilai tiga hingga empat juta emas darkat.De Lemos mengatakan:

"Kekayaan Sungguh, benar-benar, sangat luar biasa dari Sumatera, jadi jika diekspor Aceh berhasil disita, tentu 'mahkota' kerajaan Portugal-Spanyol akan dapat memulihkan wilyah-Kristen daerah yang telah (termasuk Yerusalem) bahkan (dapat) menggulingkan kerajaan Utsmani (kalkun).


Perhatian termasuk Sultan Iskandar Muda bidang Agama, pendidikan, dan hubungan perdagangan disamping bidang Militer tidak dapat di itu. Di bidang Agama, Sultan Iskandar Muda Masjid Baiturrahman dibangun pada tahun 1614, masjid Baiturrahman dibangun oleh Iskandar Muda jauh berbeda dari arsitektur masjid Baiturrahman dari sekarang. Berdasarkan kesaksian Peter Mundy pada tahun 1637 dalam kunjungannya ke kerajaan Aceh pada tahun 1600-sebuah Masjid, Baiturrahman dibangun oleh Iskandar Muda tidak memiliki kubah puncak tunggal namun baris memiliki kubah berbentuk jajaran genjang dan memiliki beberapa penutup atap bertingkat, bila dilihat sekilas tampak seperti dengan warisan mantan kubah atau pagoda Hindu budaya yang jauh di masa lalu telah menjadi agama rakyat Aceh.

Sangat disayangkan karena masjid itu dibakar oleh Belanda selama perang Belanda ultimatum yang dikeluarkan untuk kerajaan Aceh Darussalam pada tanggal 1 April 1873, Belanda membakar masjid Raya Baiturrahman pada tanggal 10 April 1873, dalam upaya untuk merebut istana istana atau kerajaan Aceh dengan melemahkan semangat pasukan tinggi pertama Masjid Raya Baiturrahman Aceh mempertahankan sampai titik darah terakhir. Lihat masjid pasukan aceh benteng terletak di hujan peluru Belanda api ke masjid sampai bangunan terbakar. Akhirnya, masjid dapat dikuasai oleh Belanda pada 14 April 1873 setelah mengalami tekanan dan perlawanan dari tentara dari Aceh, Belanda membayar mahal atas keberaniannya menghancurkan simbol agama yang dihormati dan orang yang sangat dicintai Aceh, sehingga setelah Masjid Belanda sukses pada 14 April 1873 menyerang Masjid Baiturrahman atas Agung yang dipimpin oleh Mayor Jenderal JHR Kohler, Kohler tidak memonitor berapa lama kompleks masjid dengan teropongnya tiba-tiba ditembak oleh pasukan Kohler tewas di Aceh sehingga dalam mempertahankan masjid, posisi Belanda meremas banyak tentara yang hilang semangat mereka sehingga kompleks masjid, yang mungkin telah dibakar oleh tentara merebut kembali kerajaan Aceh.

Sementara pemantauan dilakukan LP Luyke, dibantu beberapa insinyur lainnya dan penghulu Garut bahwa pola tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Bahan pengembangan masjid adalah bagian dari Penang, Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu dan tangga marmer untuk lantai di datangkan Cina, besi untuk jendela dari belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang masjid, Surabaya. Bahan bangunan diborong Lie sie A, Cina Letnan bahwa biaya 203.000 Gulden grosir.
Membangun masjid selesai pada tahun 1882 dengan kubah dan memiliki Masjid Masjid Baiturrahman tetap bernama jalan raya. Pada tahun 1935 A.P.H., Gubernur Jenderal Van Aken memperluas bangunan masjid menjadi tiga kubah. Pada saat Ali Hasjmy Gubernur Aceh, masjid raya kembali ke pemulihan ini, dan diperluas menjadi lima kubah potongan. Dua menara pada tahun 1967. Pada tahun 1992-1995, Masjid Baiturrahman Agung lagi diperbaiki dan diperluas ke tujuh dan lima buah menara kubah.


Wacana pembangunan mal dan hotel berbintang di dekat Masjid Baiturrahman merupakan kelanjutan dari upaya peningkatan sektor pariwisata di Banda Aceh. Destinasi Pariwisata yang baik selalu dinilai dari beberapa faktor pendukung seperti keramahan masyarakat setempat, keamanan yang baik, kemudahan transportasi, pelayanan kesehatan yang baik dan mudah terjangkau, serta yang paling penting adalah akomodasi yang baik. Bila pariwisata hanya mengandalkan keindahan fisik alam ataupun peninggalan sejarah dan budaya saja tanpa didukung oleh faktor-faktor penunjang tersebut, tentu saja destinasi tersebut selalu menjadi pilihan terakhir bagi seorang pelancong atau bahkan tidak pernah dikenal dalam buku-buku travelling.


Aceh memang sangat pantas dijadikan sebagai destinasi pariwisata di Indonesia. Indahnya pantai Ulee Lheu, putihnya pasir pantai Lampuuk dan Lhoknga, Geurutee yang menakjubkan mampu disejajarkan dengan keindahan Phuket, Bali dan destinasi-destinasi pariwisata dunia lainnya. Sebagai pusat peninggalan sejarah dan budaya baik Hindu maupun Islam, Aceh pun bisa dijadikan sebagai tujuan wisata reliji. Tak kalah menariknya bukti-bukti dan puing-puing reruntuhan Tsunami 2004 pun menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang mengunjungi Aceh. Salah satu hal yang selalu mewakili potret pariwisata dan budaya Aceh adalah Masjid Raya Baiturrahman.


2.Museum tsunami
Aceh Tsunami Museum is a museum to remember the tsunami back pristiwa overwrite Nanggroe Aceh Darussalam on 26 December 2008 the victim ingest approximately 240,000 people.



Seperti kutipan dari adikku, Johny Hartanta Sembiring, yang merupakan Anggota Tim bidang Informasi setelah pertemuan yang diadakan di Rumah Prof.Drs. Abdul Djalil Pirous yang merupakan Guru Seni Rupa dengan ITB Dr.Ir. Kamal A. Arif, M. Eng, yang ahli dan Museum Sejarah dan DR.Eng.Ir. Teuku Abdullah Sanny, yang merupakan M. Sc Geologi dan ahli seismik di daerah spesialis Bukit Dago Timur ITB, Bandung Pada Rabu, Oktober 10, 2007 pukul 16:00 WIB sampai malam dimlai ditutup dengan makan malam bersama dengan tema Konten Penelitian Bahan / Bahan Museum Tsunami di Aceh

Museum Tsunami Aceh akan dibangun di kota Banda Aceh, sekitar 1 km dari Masjid Agung di Banda Aceh, Fungsi Museum Tsunami Aceh:
1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami.
2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam bencana tsunami.
3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan yang telah terjadi di daerah tsunami.
4. Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah Indonesia. Ini karena Indonesia terletak di "cincin api" Pasifik sabuk gunung berapi, dan jalan yang mengelilingi Basin Pasifik. Daerah adalah cincin lokal api yang sering gempa bisa memicu tsunami.
Komputer animasi berikut Museum Tsunami di Aceh yang akan dibangun dengan konsep dan desain Rumoh Aceh sebagai pelarian bukit karya Muhammad Ridwan Kamil, yang kemudian menjadi Museum Tsunami Aceh.
Catatan: Hak cipta dalam Muhammad Ridwan Kamil, Muhammad Yuliansyah Akbar, AA Putra Munchana, Asep Budiman.

Membangun rumah tradisional masyarakat Aceh, dalam bentuk bangunan rumah di Aceh diambil sebagai analogi massa bangunan dasar. Dengan konsep rumah-rumah, bangunan juga dapat berfungsi sebagai taman melarikan diri bukit bukit berbentuk yang dapat digunakan sebagai salah satu lokasi penyelamatan diantisipasi dalam kasus bencana banjir dan tsunami di masa depan.



Kemudian ada juga bukit cahaya, di samping kebun yang dipenuhi ratusan tiang evakuasi, para pengunjung dapat menempatkan karangan bunga, semacam personal space dan juga memiliki ruang di ruang pameran bukit monumen bawah tanah dan dilengkapi.



Desain ini juga sarat dengan konten lokal. Saman tarian sebagai refleksi Hablumminannas (konsep hubungan antar manusia dalam Islam) ke dalam membangun sistem distilasi fasade.



Eksterior penampilan luar biasa dari keragaman budaya Aceh melalui elemen dekoratif perhiasan elemen transparansi luar kulit bangunan.

Desain Interior Museum


Pada gambar di atas untuk merancang sebuah lorong sempit dan remang. Melalui lorong itu kita bisa melihat air terjun di sebelah kiri dan kanan yang memberikan suara gemuruh air. Lane adalah untuk mengingatkan para pengunjung pada suasana tsunami, kata Kamal A Arief.


Cahaya Tuhan, ruang silinder berbentuk sumur yang bersinar terang di atas lubang dengan tulisan arab "Allah" dan dinding sumur silinder dipenuhi nama tsunami.Very waktu mati mengandung nilai-nilai agama adalah refleksi dari Hablumminallah (konsep hubungan manusia dan Allah).

Dalam konteks urban, bangunan didesain untuk berfungsi juga sebagai taman kota. Lahan terbuka sebagai hasil bangunan itu dirancang untuk dapat menyeimbangkan skala manusia dan bangunan.
interior pesona dengan satu set terowongan Kesedihan bahwa pengunjung mengarah ke kontemplasi alami tangguh pada orang-orang Aceh menderita di penyerahan sekali dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Allah dalam hal-hal pandangan.
Rumoh Aceh sebagai Luput Bukit desain M. Ridwan Kamil akhirnya memenangkan kontes desain kompetisi Museum Tsunami Aceh setelah 68 desain yang memenuhi semua persyaratan bahwa komite telah ditetapkan dari total 153 karya yang masuk seperti yang saya kutip dari DetikNet murah Melayu Online . Pengumuman yang dikeluarkan oleh panitia pada Jumat (17/08/2007) di ruang Sultan Selim II, Aceh Community Center, Banda Aceh. Pemenang hadiah pertama berhak mencapai US $ 10,000, dari total hadiah US $ 27,500.
"Kita memilih Rumoh Aceh sebagai pelarian bukit pemenang karena ia memenuhi hampir semua kriteria dari juri. Tidak hanya sebuah bangunan monumen, tapi juga sebuah museum tsunami yang monumental. Ridwan Dalam menggambarkan desain bencana alam di gedung yang kejadian tsunami 26 Desember 2004 "kata salah satu juri Kamal A. Arief wartawan setelah pengumuman.
"Desain adalah dalam gambar M Ridwan Kamil memperlihatkan di lantai pertama museum adalah ruang terbuka seperti rumah tradisional Aceh.Picture berarti bahwa ruang terbuka yang dapat digunakan sebagai ruang publik dan dalam hal banjir atau tsunami, air tingkat yang tidak akan datang ter menghambat, "kata Mirza Kumala.

Sejak beberapa hari lalu diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Museum Tsunami Aceh Yudoyono di jalan T. Iskandar Muda banyak orang mengunjungi Banda Aceh dan Aceh Besar. Beberapa pengunjung yang terlihat sedang beristirahat setelah melihat fasilitas museum.

Museum tsunami pertanda ini berdiri sebagai mercusuar di Banda Aceh dengan bentuk kapal yang terdiri dari 4 tingkat dan dihiasi dekorasi pola Islam.


Jelaskan gelombang atap yang dipamerkan di lantai pertama rumah tradisional Aceh yang dilengkapi dengan peralatan untuk bisa bertahan hidup tsunami.
Para pengunjung juga diajak untuk menjalankan melalui gang sempit dan gelap dengan dua dinding air untuk suasana kepanikan saat tsunami datang.inilah sekelas museum Tsunami

3.Pemandangan air dingin lhok pawoh aceh selatan


Pemandian air dingin, begitulah sebutan kawasan wisata yang terletak di desa Lhok Pawoh, Kecataman Sawang, Kabupaten Aceh Selatan. Objek wisata yang tiap harinya ramai dikunjungi masyarakat setempat maupun pendatang ini memiliki area pemandian yang luas, air yang dingin serta panorama alam pegunungan yang indah dan memberi kesegaran.
Obek wisata yang berlokasi sekitar 30 kilometer dari Kota Tapak Tuan ini merupakan salah satu tujuan wisata utama bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.Air terjun yang indah, bebataun yang besar dan tinggi seakan telah menjadi ciri khas objek wisata ini. Kawasan pemandian air dingin juga hanya berjarak 100 meter dari pesisir laut yang berpasir putih.“Kalau sudah ada di sini sepertinya semua lelah menjadi hilang seketika, termasuk rasa gerah akibat cuaca yang panas pun berubah dingin ketika menyentuh air yang berasal dari pengunungan tinggi,”katanya.
“Sepulang bekerja, saya selalu menyempatkan diri untuk singgah dan mandi di sini, sehingga sesampai di rumah nanti sudah bersih dan hanya tinggal mengganti pakaian saja,” ujar pria yang kesehariannya bekerja sebagai nelayan itu.

“Saya harap kawasan wisata air dingin ini akan dapat terus dirawat dan dijaga dengan baik, termasuk dari segi kebersihan maupun penyalahgunaan oleh muda-mudi yang terkadang menggunakannya untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam,” ungkapnya seraya bersiap siap pulang usai mandi di kawasan tersebut.
Bagi anda yang akan bepergian ke Aceh Selatan, sudah sepantasnya untuk menyempatkan diri mengunjungi pemandian air dingin Sawang guna menikmati kesejukan alam dengan pepohonan yang hijau di antara pengunungan yang menjulang tinggi dan desiran air terjun yang senantiasa menghadirkan kesejukan bagi anda. ***

4.PESONA AIR TERJUN LHONG RAYA ACEH BESAR



Desiran air yang mengair dari bebatuan dan sembilir angin yang berhembus di antara epohonan yang mejulang tinggi menambah keasrian objek wisata air terjun di Desa Krueng Kala, Kacamatan Lhong, Kabupaten Aceh Besar.Saban harinya, terutama pada hari Sabtu dan Minggu tempat yang berlokasi sekitar 55 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh tersebut kerapkali dikunjungi ratusan bahkan ribuan masyarakat dari Banda Aceh dan Aceh Besar, bahkan ada juga yang sengaja datang dari Lamno, Kabupaten Aceh Jaya.
Selain memiliki kolam pemandian yang luas dan dalam, para pengunjung yang datang juga dapat enikmati pemandangan hijau dan suguhan makanan dan minuman dari sejumlah warung yang dikelola warga setempat dengan harga yang relatif murah.
Dan bagi pengunjung yang merasa penasaran dengan sumber aliran air terjun yang terdapat di puncak gunung dapat menelusurinya dengan mendaki sejumlah tangga yang terjal. Namun untuk hal yang satu ini hanya diperbolehkan bagi kaum lelaki saja, sesuai yang dituliskan pengelola objek wisata di pintu tangga.
Air terjun Lhong juga menyimpan berjuta sumber daya alam yang berguna bagi manusia, salah satunya adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) oleh PT Cola-Cola dengan memanfaatkan arus air sebagai daya utama yang dapat mecukupi kebutuhan listrik ke seluruh desa setempat.
Meskipun pada masa konflik, objek wisata ini sempat ditinggalkan dan tidak terurus, namun kini wisata air terjun Lhong mulai kembali dilirik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara serta lingkungannya pun semakin tertata rapi dan bersih.
“Pada masa konflik, daerah ini termasuk kawasan yang sangat rawan bahkan menjadi zona hitam. Jadi wajar saja kalau dulu wisata air terjun Lhong ini jarang diketahui oleh masyarakat.


Memang jalan Banda Aceh – Meulaboh saat ini masih dalam proses pembangunan, tapi meski demikian jarak tempuh menuju ke sini masih bisa dilalui dengan kendaraan bermotor dan hanya memakan waktu 1jam dari Kota Banda Aceh,”kata pria hitam manis yang juga mahasiswa unsyiah itu.
Jadi bagi anda yang menyukai objek wisata alam, tidak ada salahnya untuk mencoba mengunjungi air terjun Lhong, Aceh Besar guna menikmati panorama alam yang natural lelah penat selama bekerja mungkin akan sirna seketika anda tiba di sana. ***

5.Lampuuk pantai Aceh yang indah, pesona alam pantai juta


Pantai di Aceh lebih baik dari pantai kuta-Bali, salah satu Lampuuk pantai yang indah - Lhok Nga - Aceh Besar, Aceh di pasir pantai pasir putih juga lebih banyak dan lebih baik daripada cokelat dan aku kuta kasar.

Sebelum gempa dan tsunami 26 Desember 2004, Pantai Lampuuk menjadi salah satu objek wisata favorit Aceh. Pohon pinus tumbuh lebat di sepanjang pantai dengan angin bertiup pantai yang segar. Ada banyak tempat untuk makan ikan segar dengan vendor yang siap dan bisa dibakar secara langsung dinikmati oleh pengunjung pantai.

Berbeda halnya setelah terjadi tsunami, pantai ini terlihat sepi, pendiam dan banyak pohon pinus kurang terkena tsunami. Namun, pantai ini saat ini mulai berlari lagi baik oleh pemerintah. Pada akhir pekan atau hari libur yang banyak pengunjung datang untuk piknik. Staf khusus dari tugas Non-Pemerintah (LSM) Organisasi internasional di Aceh, banyak dari mereka dengan piknik berselancar dan berlayar. Selain itu, informasi yang perlu diketahui oleh pengunjung adalah daerah terlarang untuk acara berenang, karena pusaran gelombang terlalu berbahaya.


Di sekitar pantai berdiri sebuah pabrik semen Andalas megah yang telah mengalami kerusakan parah akibat gempa dan tsunami. Dekat pantai juga terlihat sebuah masjid megah berwarna putih - satu-satunya bangunan yang tetap utuh ketika tsunami terjadi di daerah ini dan telah ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai monumen tragedi tsunami. Masjid ini adalah satu dengan perumahan pasca-tsunami kompleks dibangun pemerintah Turki.
Lampuuk sangat indah pantai dengan pasir putih. Di pantai ini wisatawan dapat berenang, berjemur, memancing, berlayar, berselancar, menyelam dan kegiatan rekreasi lainnya. Di daerah pesisir Padang Golf Seulawah sana dengan latar belakang panorama laut. Pada sore hari pantai agak indah dan penuh pesona. Pengunjung dapat menyaksikan matahari terbenam yang indah, jadi jangan memberikan kesenangan untuk mengingat.
Daerah Lampuuk terletak di pantai barat Aceh di ujung pulau Sumatera. Dia adalah di Kecamatan Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar. Lokasi dekat pantai dan dapat Lhok Nga melalui Banda Aceh - Calang (Aceh Jaya).
Jarak lokasi pantai dengan kota Banda Aceh, ibukota Provinsi sekitar 20 km. Kota Banda Aceh dapat menjadi kendaraan pribadi dalam waktu kurang dari 20 menit. Jika transportasi umum meningkat, Labi Labi-(Mobil angkutan penumpang) departemen di Banda Aceh-Lhok Nga menjadi sekitar 35 menit.
Sebelum tsunami harga tiket masuk lokasi US $ 0,15 (Rp 1500) tetapi pada saat ini harga tiket belum diketahui secara pasti.

Untuk saat ini tidak ada akomodasi di sekitar pantai. Kondisi yang berbeda sebelum tsunami dengan pondok tersedia banyak (penginapan) untuk para pengunjung.

6.Danau Laut Tawar-Keindahan tersembunyi di negara antara


Sebuah danau yang tenang terletak di timur kota Takengon, di dataran tinggi Gayo (1.250 meter di atas permukaan laut), Kecamatan Laut Tawar, Nanggroe Aceh Darussalam. Ini adalah danau paparan di Propinsi Aceh dengan luas 5.472 hektar sekitar, sekitar 17 km panjang dan lebar 5,5 km. lebar rata-rata - rata 3.219 km tersebut, volume air Liter 2,5 triliun (2537483884 m3), Di provinsi North Road: 18 km ke arah selatan: km 24.
Penduduk sekitar 21.487 Danau Hidup (2002), 4 Kecamatan, 23 desa
Star, 14 Desa (Bamil Nosar, Nosar Bale, Nosar bekerja hari ini, Kejurun Syiah Utama, Mengaya, Bewang, di Bintang, Kuala saya, Gegarang, Merodot, Linung Bulen II, sisi Scorpion, Kelitu Sintep)
Kemontokan, 3 Desa (Lot Kala, Mendale, Kala Lengkio)
Bebesen, 2 Desa (Kemili, keramat mufakat)
Lot tawar-menawar, 4 Desa (Toweren Toa, Rawe, Pedemun Salah-salah, Hakim Bale Bujang, Lingkungan Takengon Timur).
Akses ke Takengon lebih mudah diakses melalui Kota Bireuen. Ada sebuah terminal kecil tempat berkumpul transportasi elf khusus untuk Takengon. Pernah perjalanan sekitar 5 jam dengan biaya sekitar Rp. 25000. Selain dari Bireuen, sebuah cara alternatif untuk Takengon juga dapat diimplementasikan di Blang Keujeren dan Kutacane.


Keberadaan Danau Laut Tawar menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Ini adalah objek wisata alam, dikunjungi oleh wisatawan domestik dan asing. Lake adalah sumber air yang digunakan tidak hanya oleh masyarakat di Aceh Tengah Kabupaten, tetapi juga oleh orang-orang di kabupaten lain.
Cerita tradisional yang beredar tentang ikan depik gayo, seperti bentuk ikan hias baik-tipis putih shimmer dengan ukuran ibu jari hidup di Danau Laut Tawar. Cerita, depik berasal dari beras dipindahkan ke danau. Dia akan muncul di permukaan untuk musim tertentu, khususnya selama musim hujan. Sebelum musim tiba, kerumunan depik bersembunyi di selatan danau, di kaki Gunung Bur Kelieten. Depik merupakan karunia Allah kepada masyarakat Gayo, meski terus-menerus dikonsumsi, ia tidak pernah lelah.


7.Semadu pulau, pemandangan indah di Lhok Seumawe, Aceh Utara



Semilir angin laut terasa dingin ketika mema kendaraan remaja muncul untuk beberapa itu, banyak hari setelah libur hari. Its hari biasanya padat di sore hari. tur lokasi yang indah dilirik warga; Semadu Pulau, Lhoksumawe. Sekarang tampaknya bahwa adalah daerah dalam dolar pedro indah kota. bagi warga Aceh Utara dan Lhoksumawe objek pariwisata sebagai ini memang tujuan utama. obyek wisata terendam di lain karena konflik berkepanjangan di Aceh. Sebagai contoh, objek wisata Blang Kola m, sekitar 10 kilometer selatan kota Lhoksumawe, Morth Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, artikel dari Masriadi Sambo Indonesia.This - Majalah Aceh Saya mengutip dari Aceh Loen Cinta
Semilir angin laut terasa dingin ketika mema muncul kenderaan beberapa remaja pergi ke sana, hari yang sibuk setelah liburan hari. Its hari biasanya padat di sore hari. tur lokasi yang indah dilirik warga; Semadu Pulau, Lhoksumawe. Sekarang tampaknya bahwa adalah daerah di kota yang indah dolar Petro. bagi warga Aceh Utara dan Lhoksumawe objek pariwisata sebagai ini memang tujuan utama. obyek wisata terendam di lain karena konflik berkepanjangan di Aceh. Sebagai contoh, objek wisata Blang Kola m, sekitar 10 kilometer selatan kota Lhoksumawe.
konflik karena dipaksa tutup publik dan te perawatan tidak lagi ..
sementara Ujong Blang pantai, juga kehilangan keasriannya. Puluhan jatuh dihantam abrasi pantai mengganas pohon setiap tahun. Rujak bahkan puluhan kios di daerah tersebut, juga kehilangan abrasi dihantam.
Tak heran jika Pulau Seumadu sebagai warga pilihan pariwisata. Selain itu, untuk mendapatkan ada juga tidak sulit. Terletak tepat di pintu depan kompleks perumahan PT Arun utama. Di depan pintu perumahan bagi karyawan perusahaan minyak di Aceh yang mulus dengan cara menyebar luas. Ikuti jalan ini, sekitar 100 meter kemudian, dewan akan terlihat nama dengan kata "Selamat Datang di Kawasan Wisata Pulau Seumadu".

Tidak hanya keuntungan dan menarik Seumadu Pulau, jika tidak mengetahui seluruh keberadaan disalurkan hobi menyanyi, jadi di sini juga tersedia di mana pro karaoke bahagia. Untuk tujuan ini, hanya memesan minuman di tempat itu. Tidak ada biaya untuk bernyanyi hobi khusus. Kemudian tanyakan apa lagu akan dinyanyikan kepada pemilik warung. Juga dapat membawa kaset mereka sendiri. Yang, itu berkaitan bahwa koleksi lagu yang Anda inginkan tidak dimiliki warung.


Setiap akhir pekan tempat ini dikunjungi oleh banyak orang Aceh Utara dan Lhokseumawe. Juga dari Kabupaten Bireuen. Namun, jika hari biasa, kebanyakan orang muda yang pak lokasi tur. Pariwisata memang sangat mempesona, Anda akan dibuai oleh semilir angin. Lelah, stres dan masalah yang kacau di kepala seperti hilang segera. Itu Pulau Seumadu, dengan keindahan wisata pantai wanita.Masih banyak wisata alam lainya di aceh seperti di sabang,langsa,tapak tuan,pidie,dan kab lainnya,selamt berkunjung gan...

by : Safril